TJOKROCORNER, ESAI - Mitos yang berkembang dan dijalankan semua negara subordinasi hegemoni Barat adalah demokrasi dengan partai politik sebagai dua sisi mata uang. Hasilnya? NOL BESAR.
Kasus Alajazair, Mesir, dan Turki
Perhatikan kasus-kasus politik di berbagai negara. Pada tahun 1989 berdiri partai Islam di Aljazair dengan nama FIS atau Front Islamic du Salut atau dalam bahasa Indonesia Front Keselamatan Islam.
Pada pemilu 20 Juni 1991, FIS memenangi pemilu setelah meraup 54% suara. Namun karena pihak sekuler tidak menginginkan pemerintahan Islam, maka terjadi kudeta militer yang berakhir dengan pembubaran FIS.
Adalah Harakah al-Muqawwamatul Islamiyyah atau (HAMAS) yang merupakan partai Islam, memenangi pemilu 2006 lalu di Palestina. Praktis, kemenangan HAMAS menjadi pukulan telak bagi Barat (utamanya Israel) yang selama ini mem-back up Fatah yang lebih mudah mereka kendalikan. Tak heran, jika Israel dan AS tidak mengakui pemerintahan Hamas. Standar ganda demorkasi ala Barat.
Muhammad Mursi (Ikhwanul Muslimin) terpilih pada bulan Juni 2012. Ia merupakan presiden pertama Mesir yang dipilih secara demokratis pasca-Musim Semi Arab pada 2011, menggantikan Husni Mubarak yang digulingkan setelah beberapa dekade memimpin.
Namun kepemimpinan Mursi pada 2012 hanya seumur jagung. Dengan sokongan Barat, akhirnya militer mengambil alih pemerintahan pada 3 Juli 2013. Mursi pun akhirnya digulingkan oleh Abdul Fattah al-Sisi yang kini menjabat sebagai presiden.
Di Turki, melawan hegemoni politik sekuler wairisan Kemal Attaturk, berdiri Welfare Party atau Refah Party (Partai Sejahtera), pada 1983. Menurut para pendirinya, gerakan politik ini satu-satunya cara mengubah konstitusi negara dari sekulerisme menjadi Islam.
Partai ini didirikan oleh Ali Turkmen, Ahmet Tekdal dan Necmettin Erbakan di Ankara. Partai ini sempat sukses ketika mengikuti pemilihan umum pertama kali pada 1991. Bahkan mesin politik Partai Refah meraih 16,2 persen suara secara nasional sehingga berhak atas 62 kursi di parlemen. Namun partai ini dibubarkan melalui keputusan Pengadilan Konstitusional Turki pada 1998.
Salah satu mantan anggota Partai Refah, Recep Tayyib Erdogan, tetap melakukan gerakan politik yang konstitusional. Lantas, Erdogan dibantu Abdullah Gul, mantan Presiden Turki dan Deputi Pimpinan Partai Sejahtera, mendirikan partai politik bernama Partai Keadilan dan Pembangunan, Justice and Development Party (AK Party) pada 2001.
Partai Adalet ve Kalkinma Partisi (AKP) merupakan satu-satunya partai berbasis Gerakan Politik Islam (GPI) yang mampu mendominasi ranah politik praktis Republik Turki dari awal berdirinya (2001) hingga saat ini . Eksistensi AKP bahkan mampu mengusik kemapanan sekularisme ala Kemal Attaturk yang bertahan puluhan tahun di Turki. Erbdogan berkuasa berdasarkan konstitusi hingga 2028.
Bagaimana di Indonesia: Tinggalkan Partai Politik Islam?
Jean-Jacques Rousseau pernah bilang: “Begitu rakyat memilih wakil, ia bukan lagi merdeka.”
Indonesia sejak awal berdirinya tidak pernah menjalankan sistem Presidensial murni. Tahun 1945, sistem parlementer di bawah Perdana Menteri Sutan Syahrir, hanya bertahan dua tahun (1945-1947) yang berujung kematian RI Proklamasi 17/8/1945, dengan ditandatanganinya Renville.
Berlanjut dengan KMB (1949), peralihan kedaulatan dari Pemerintahan Hindia Belanda diberikan kepada Negara RIS (Sic! Bukan kepada Negara RI Yogyakarta, Mr. Assat), maka sistem parlementer dibangkitkan lewat Negara RIS yang berubah namanya menjadi NKRI di bawah Perdana Menteri M. Natsir.(1950); Lagi-lagi berakhir lewat Dekrit Presiden (1959). Partai politik Islam, Masyumi menjadi korban.
Era Soekarno, di bawah panji Demokrasi Terpimpin, melahirkan partai penguasa (PKI) yang juga tumbang dibawah kuasa Soeharto (1967-1989). Orde Baru pun memberlakukan partai pemerintah yaitu GOLKAR, yang tidak mau disebut sebagai partai politik.
Solusi era Reformasi, juga salah! Memperbanyak partai politik dengan berbagai basis ideologi, sepeti halnya di era Pemilu 1955 yang digadang-gadang sebagai pemilu dan demokrasi yang paling sukses, padahal menyisakan tragedi! Partai Islam Masyumi dan partai Islam lainnya kalah telak dicurangi! Hasil endgame-nya, OLIGARKI yang berkuasa dengan partai politik sebagai kepanjangan tangannya!
Soekarno bilang, “Kuburkan partai-partai politik.”
Reformasi 1998 katanya menumbangkan Orde Baru, tapi yang benar: Kita hanya ganti seragam tirani. Kalau dulu ada satu diktator di puncak piramida, sekarang lahir koloni diktator berjubah Ketua Umum Partai Politik. Mereka bukan pilar demokrasi, melainkan bandar judi.
Kita sudah terlalu lama dijebak dalam demokrasi palsu yang dimonopoli partai politik. Demokrasi disandera oleh oligarki politik. Rakyat hanya jadi angka statistik—dan sasaran "serangan fajar". Terakhir, serangan sembako Jokowi.
Mengapa seolah-olah hanya partai yang boleh bicara atas nama rakyat?
Jawabannya jelas: karena partai sudah berubah menjadi kartel di bawah oligarki yang mengendalikan negara kita. Parpol bukan kanal rakyat yang fungsinya membuat kebijakan politik demi memakmurkan rakyat.
Parpol adalah agen oligarki, bukan wakil anggota partai. Parpol di Indonesia hanya jongos-jongos oligarki dalam negeri dan oligark asing. Kerjanya hanya mencari rente politik dan ekonomi dengan mengibuli anggota parpolnya dan pemilihnya. Mereka tidak nyambung dengan anggota dan pemilihnya.
Kaum-Cianjur, 19/9/2025
Nunu A. Hamijaya. Sejarawan publik/Penulis Buku “Negara Ummat: Zelfbestuur Berdasarkan Syariat.
Posting Komentar