TJOKROCORNER, OPINI - Tulisan ini dipersembahkan oleh Ardinal Bandaro Putiah, kader muda Syarikat Islam Indonesia Sumatera Barat. Sebentuk satire bagi kondisi Syarikat Islam Indonesia yang berhasrat untuk membangkitkan kembali dan mengulang kejayaan Partai Syarikat Islam Indonesia di panggung politik negeri ini (redaksi).
Kapal Tua yang Bersandar
Di sebuah dermaga tua, berdiri tegak sebuah kapal besar yang usianya sudah lewat dari satu abad. Catnya mengelupas, kayunya keropos dimakan rayap, dan layarnya sobek di beberapa bagian. Mesinnya berkarat, dan jangkar tertanam begitu lama hingga menyatu dengan lumpur dasar laut.
Namun kapal itu masih punya kapten. Duduk tegak di kursi kebesarannya, lengkap dengan seragam, topi, dan tongkat komando. Awak kapal pun ada, jumlahnya tidak sedikit. Mereka duduk, mondar-mandir, kadang berteriak satu sama lain, kadang sibuk menulis di buku catatan, kadang hanya menguap karena bosan menunggu.
Semuanya lengkap, kapal, dermaga, kapten, awak. Hanya satu yang tidak ada, gerakan. Kapal tua itu tetap diam, tidak pernah benar-benar berlayar.
Sidang Agung yang Katanya Bersejarah
Beberapa waktu lalu, sebuah sidang besar digelar. Orang menyebutnya pertemuan agung, momentum kebangkitan, bahkan “titik balik sejarah.” Di sana diputuskan banyak hal, diumumkan janji-janji besar, dan disusun naskah penuh kata-kata indah.
Semua orang pulang dengan wajah sumringah, seolah kapal ini akan segera menyalakan mesinnya dan memutus tali dermaga. Tetapi apa yang terjadi setelah itu?
Hari-hari berlalu, minggu-minggu lewat, bulan-bulan berganti. Kapal masih bersandar. Mesin tetap mati. Jangkar tetap tertanam.
Yang tersisa hanya tumpukan dokumen, tanda tangan rapat, dan foto-foto formal di depan spanduk besar. Sisanya hanyalah keheningan, seperti pesta pernikahan yang ditinggalkan tanpa pengantin.
Kapten Ada, Tetapi Kapal Tak Bergerak
Kapal ini bukan tanpa kapten. Kapten ada, bahkan lengkap dengan semua simbol kekuasaan dan legitimasi. Ia duduk di kursinya, mengawasi awak, kadang memberikan pidato. Tetapi kapal tak kunjung bergerak.
Mesin dibiarkan dingin, layar robek tak dijahit, tali jangkar tetap erat mengikat. Awak kapal menunggu aba-aba, tetapi aba-aba itu tak pernah datang.
Inilah ironi besar kapal tua, masalahnya bukan ketiadaan pemimpin, melainkan kehadiran pemimpin yang tidak membawa kapal ke laut. Kapten ada, tetapi kapal tetap diam. Dermaga pun hanya menjadi saksi, kapal itu lengkap dengan kaptennya, namun tak pernah berlayar, lebih mirip monumen ketimbang kendaraan perjuangan.
Awak yang Kehilangan Semangat
Awak kapal semakin hari semakin kehilangan arah. Ada yang mengasah dayung, berharap suatu saat dipakai. Ada yang menambal perahu kecil, lebih memilih meninggalkan kapal besar. Ada yang hanya duduk termenung, menyerahkan nasib pada angin.
Sebagian bahkan sudah terbiasa hidup di dermaga. Mereka membuka warung kecil di dekat geladak, menjual kopi dan rokok untuk sesama awak. Kapal tak berlayar, tetapi dermaga tetap ramai oleh rutinitas kecil yang membuat orang lupa bahwa tujuan awal kapal ini adalah lautan, bukan daratan.
Ideologi yang Membeku
Dulu, kapal ini dibangun di atas ideologi besar, sebuah keyakinan yang lahir dari rahim sejarah perjuangan. Ideologi itu dulunya adalah layar yang mengembang, kompas yang menuntun, dan bendera yang berkibar gagah di puncak tiang.
Namun kini, ideologi itu membeku. Ia hanya hidup dalam pidato peringatan, buku sejarah berdebu, atau kutipan yang diulang-ulang tanpa makna.
Dulu orang berkata: “Kapal ini pembawa cahaya.”
Sekarang orang berkata: “Kapal itu dulu pernah bersinar.”
Layar ideologi yang dulu mengembang kini robek, dibiarkan menggantung lusuh. Kapten dan awak lebih sibuk mengingat kejayaan masa lalu daripada menyiapkan layar baru untuk menghadapi badai zaman.
Politik sebagai Dagelan
Di tengah samudera besar yang dipenuhi kapal-kapal modern, kapal tua ini seharusnya berlayar, berkompetisi, bahkan menantang arus. Tetapi apa yang terjadi?
Kapal tua ini lebih mirip pedati reyot di museum. Sesekali ditunjuk orang sambil berkata, “Oh, itu kapal bersejarah.” Tetapi tak ada yang sungguh-sungguh ingin naik ke atasnya.
Setiap kali ada gelombang besar seperti pemilihan, perubahan, atau momentum nasional, kapal tua tak pernah ikut serta sebagai pemain utama. Ia hanya figuran, kadang sekadar disebut dalam catatan kaki, lalu dilupakan.
Politik kapal tua akhirnya jadi dagelan. Janji kebangkitan hanya retorika, strategi hanya mimpi, ideologi hanya nostalgia.
Rakyat yang Menunggu di Tepi Pantai
Rakyat menunggu. Mereka berdiri di tepi pantai, menatap kapal tua itu dengan harapan samar.
Para nelayan menunggu kapal yang akan membawa suara mereka. Para buruh menunggu kapal yang akan memperjuangkan hak mereka. Para pedagang menunggu kapal yang akan melindungi usaha kecil mereka. Para mahasiswa menunggu kapal yang akan menjadi ruang ideologi dan perlawanan.
Tetapi rakyat hanya menunggu, menunggu, dan menunggu. Dari kejauhan, yang terlihat hanya kapal tua yang tetap diam. Kaptennya duduk di kursi, awaknya sibuk dengan urusan kecil, sementara laut luas terbentang tak tersentuh.
Kapten Tanpa Perjalanan
Kapten kapal ini rajin berbicara tentang masa depan. Ia mengutip sejarah, ia mengulang janji, ia menjelaskan arah. Tetapi semua itu tak pernah berubah jadi perjalanan nyata.
Kapten itu lebih mirip pemandu wisata sejarah, menunjukkan peta lama, bercerita tentang pelayaran hebat di masa silam, tetapi tidak pernah benar-benar memimpin kapal keluar dari dermaga.
Pemimpin sejati adalah yang menyalakan mesin, mengangkat jangkar, dan berkata: “Arah kita ke sana, mari berlayar!” Tetapi kapten kapal tua tampaknya nyaman duduk di kursinya. Ia memimpin kapal yang diam, bukan kapal yang berlayar.
Mimpi di Dermaga
Di antara awak, selalu ada mimpi. Ada yang bermimpi kapal akan menjadi besar lagi, ada yang bermimpi kapal bisa menantang badai global, ada pula yang bermimpi kapal ini akan menyalip perahu-perahu modern.
Tetapi semua itu hanya mimpi di dermaga. Tak ada layar yang terkembang, tak ada mesin yang menyala, tak ada aba-aba untuk berangkat.
Mimpi tanpa aksi hanyalah ilusi. Dermaga penuh dengan mimpi, tetapi lautan tetap kosong dari jejak kapal tua ini.
Satire Ideologis – Kapal atau Bangkai?
Dalam perjuangan, kapal bukan sekadar alat transportasi, tetapi simbol ideologi, alat pembebasan, dan kendaraan menuju perubahan sosial. Tetapi hari ini, kapal tua itu lebih menyerupai papan nama, hanya eksis sebagai tanda bahwa “dulu pernah ada.”
Apakah ia masih kapal, atau sudah menjadi bangkai kayu? Bangkai yang dijadikan tiang untuk menambat perahu kecil nelayan. Bangkai yang jadi objek foto turis. Bangkai yang masih disebut-sebut, tapi tak lagi berfungsi.
Inilah satire ideologis: kapal yang dulunya kendaraan perubahan kini menjadi monumen mati.
Seruan untuk Menyalakan Mesin
Satire ini tak boleh berhenti pada ejekan. Ada seruan yang harus disampaikan, jika kapal tua ini sungguh ingin berlayar lagi, maka mesin harus dinyalakan, layar harus dijahit, jangkar harus diangkat.
Kapten tidak boleh hanya duduk di kursi. Ia harus berdiri, berteriak, dan menggerakkan awaknya. Awak tidak boleh hanya menunggu, mereka harus menyiapkan kapal.
Dan yang lebih penting, berhentilah menjadikan dermaga sebagai rumah. Dermaga hanyalah tempat singgah, bukan tujuan. Tujuan kapal adalah lautan gelombang, badai, dan perjalanan panjang yang menantang.
Epilog: Mimpi yang Terakhir
Kapal tua itu masih bersandar. Kapten masih duduk di kursinya. Awak masih mondar-mandir. Rakyat masih menunggu di pantai.
Barangkali, suatu hari nanti, ada keberanian untuk benar-benar melepaskan tali, membuka layar, dan menyalakan mesin. Barangkali, kapal tua itu masih bisa berlayar sekali lagi, menulis babak baru sejarahnya.
Atau barangkali, kapal itu akan terus bermimpi, sampai kayunya lapuk, mesinnya karatan, tiangnya patah, dan namanya hanya tinggal catatan di buku sejarah.
Satire ini ditulis bukan untuk membenci, melainkan untuk mengguncang. Sebab kapal yang punya kapten, punya awak, punya sejarah, tetapi tidak bergerak, pada akhirnya hanya akan jadi mimpi buruk dalam ingatan umat.
Entahlah...
Utan Kayu, 04 September 2025
Posting Komentar