TJOKROCORNER, ESAI - Di abad ke-21, kita tak lagi memandang kaum pedagang sebagai golongan rendahan atau tak elegan. Ini mungkin satu bentuk kemajuan: pengakuan terhadap peran vital pasar dalam kehidupan sosial.
Namun, kemajuan ini membawa serta konsekuensi yang tidak kita duga—saudagarisme, atau semangat dagang, kini merembes ke ranah politik.
Albert O. Hirschman dalam bukunya The Passions and the Interests (1977), mengingatkan bahwa dalam sejarah Barat, passion dan interest pernah dilihat sebagai kekuatan sosial yang saling bertarung.
Passion—amarah, semangat, idealisme—adalah fondasi politik pada masa revolusi. Sementara interest—kalkulasi kepentingan pribadi—dianggap lebih "rasional", dan pada akhirnya menjadi dominan dalam tata kelola modern. Kita hidup di masa ketika interest menang.
Politik hari ini, alih-alih menjadi arena perjuangan nilai, justru menyerupai pasar bebas. Kampanye bukan lagi ruang membangun kesadaran kolektif, tapi ajang promosi dan pemasaran.
Calon pemimpin menjadi brand. Debat publik dikemas seperti iklan. Janji politik menjadi komoditas, dan pemilih diperlakukan sebagai target pasar.
Gagasan digeser oleh gimmick. Visi diganti dengan voucher. Kampanye tidak mengajak berpikir, melainkan mengiming-imingi. Konstituen berubah status—dari warga negara menjadi konsumen.
Sastrawan Milan Kundera pernah menulis, "Perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan ingatan melawan lupa."
Tapi di era pemasaran politik, yang dilawan bukan lagi kekuasaan otoriter, melainkan pelupaan nilai-nilai politik itu sendiri—oleh kepentingan pragmatis dan mekanisme pasar.
Jean Baudrillard dalam The Consumer Society (1970) menyatakan bahwa dalam masyarakat modern, kita tidak hanya mengonsumsi barang, tapi juga tanda, citra, dan simbol.
Dalam politik, ini berarti kita lebih tertarik pada sosok yang tampil meyakinkan, bukan yang berpikir dan bertindak dengan benar. Yang laku di pasar politik bukan kejujuran, melainkan daya tarik visual dan retorika instan.
Jika politik terus dijalankan seperti perdagangan, maka yang lahir bukan negarawan, melainkan pedagang kekuasaan. Demokrasi kehilangan ruhnya. Dan publik hanya menerima “produk” politik yang dikemas menarik, tapi kosong dari isi.
Kini kita harus bertanya kembali: Apakah politik hanya tentang siapa memberi apa kepada siapa—seperti kata Harold Lasswell—atau seharusnya lebih dari itu?
Apakah masih ada tempat untuk passion dalam dunia yang sudah ditaklukkan oleh interest?
Referensi Kutipan:
1. Hirschman, A.O. The Passions and the Interests: Political Arguments for Capitalism before Its Triumph, 1977.
2. Baudrillard, Jean. The Consumer Society: Myths and Structures, 1970.
3. Milan Kundera. The Book of Laughter and Forgetting, 1979.
4. Lasswell, Harold D. “Politics: Who Gets What, When, How.” 1936.
Tulisan ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Basyir, fungsionaris Pimpinan Cabang Pemuda Muslimin Indonesia Kan. Takalar 2022-2025.
Posting Komentar