TJOKROCORNER, ESAI - Di pagi yang hening, secangkir kopi mengepul. Aroma tanah yang diseduh, pahit yang menyentuh lidah, mengalirkan kehangatan pelan-pelan menuju dada. Di momen itu, ada yang lebih dari sekadar ritual: ada kehadiran diri. Sebentuk kesadaran.
Hegel menyebutnya kesadaran diri —self consciousness. Bagi Hegel, manusia tidak serta-merta sadar akan dirinya.
Kesadaran diri muncul ketika kita menengok ke dalam, tetapi juga ketika kita berjumpa dengan “yang lain”, dengan dunia. Kesadaran itu terbentuk lewat negasi, pertentangan, dan rekonsiliasi. Dialektika.
Maka kopi, bagi saya, bukan sekadar minuman. Ia adalah mediasi. Ia adalah "perantara kecil" menuju kesadaran. Ia menyapa kita lewat rasa, membangunkan kita bukan hanya dari tidur, tapi dari ketidaksadaran. Setiap teguknya adalah ajakan untuk hadir —sepenuhnya, utuh, sadar.
Dalam secangkir kopi, kita merasakan hidup. Dalam pahitnya, kita mendapati diri. Dalam hangatnya, kita menyentuh waktu.
Namun, di balik setiap kehidupan, ada bayangan yang tak bisa dihindari: 'kematian'. Hegel tak melihat kematian sebagai lawan hidup, melainkan sebagai bagian inheren dari hidup itu sendiri.
Momen kehidupan adalah momen kematian. Kita hidup justru karena kita bisa mati. Dan justru karena kita sadar akan kematianlah, kita bisa menyadari nilai kehidupan.
Dalam hidup, maut telah tertanam. Dalam setiap hembusan napas, ada kesementaraan. Dalam kopi yang perlahan mendingin, ada waktu yang berlalu —dan tak kembali.
Begitu pula dengan Tuhan dalam pemikiran Hegel: bahkan Tuhan 'mati', bukan dalam arti nihilisme, tetapi sebagai bentuk pengosongan diri menuju realisasi roh dalam sejarah.
Tuhan yang mati adalah Tuhan yang menjelma dalam dunia, dalam manusia, dalam kesadaran kolektif yang terus bergerak menuju Absolut.
Maka, jika harus merumuskan ulang:
Kopi adalah Nyonya Absolut —sosok yang membimbing kita menuju rasa, kesadaran, dan kehadiran.
Kematian adalah Tuan Absolut —sang penguasa sunyi yang menegaskan batas, agar hidup menjadi berarti.
Dan di antara keduanya, kita: makhluk rapuh yang menyesap waktu, meneguk kesadaran, dan menunggu giliran untuk pulang.
Maka tak berlebihan jika saya berkata: Setiap kali kita meminum kopi, kita sedang belajar menjadi sadar. Dan setiap kali kopi itu habis, kita sedang belajar menerima yang akan berakhir.
Dalam hidup yang dialektis, kita adalah penyeimbang antara aroma yang membangkitkan dan sunyi yang menutup.
Kopi dan kematian —dua kutub yang menyatukan pengalaman hidup. Seperti Hegel, yang melihat segalanya dalam gerak, dalam proses, dalam penyeberangan menuju Absolut.
Dan siapa tahu, mungkin di akhir dialektika, Tuhan sedang menunggu kita, sambil menyeruput secangkir kopi terakhir.
Ahmad Basyir, fungsionaris Pimpinan Cabang Pemuda Muslimin Indonesia Kab. Takalar 2023-2025
Posting Komentar