Ruang Narasi
SINDIKASI TJOKRO CORNER
Tjokroisme: Monoteisme Dialektika Historis
Jika kalian ingin menjadi pemimpin besar menulislah seperti wartawan dan bicaralah seperti orator - H.O.S. Tjokroaminoto

Islam Melawan Kapitalisme: Menelusuri Gagasan Besar HOS Tjokroaminoto, dalam buku Islam dan Sosialisme


TJOKROCORNER, ESAI -
Pada awal abad ke-20, Indonesia dalam cengkeraman kolonialisme yang mengakar kuat dalam sistem ekonomi kapitalistik. Dalam situasi inilah, muncul seorang pemikir besar yang tidak hanya menghidupkan semangat kebangsaan, tetapi juga mengusung Islam sebagai fondasi keadilan sosial: Haji Oemar Said Tjokroaminoto.

Melalui bukunya Islam dan Sosialisme (1924), Tjokro dengan lantang menyatakan bahwa musuh utama umat Islam bukanlah komunisme atau kristenisasi, melainkan kapitalisme dalam segala bentuknya. Sebuah pandangan yang tajam dan melampaui zamannya.

“Bagi kita orang Islam, tak ada sosialisme atau rupa-rupa ‘isme’ lainnya, yang lebih baik, lebih indah dan lebih mulus, selain dari sosialisme yang berdasar Islam.” HOS Tjokroaminoto, Islam dan Sosialisme, 1924

Kapitalisme sebagai Instrumen Penindasan

Di masa Hindia Belanda, sistem kapitalisme kolonial menciptakan kesenjangan yang begitu lebar. Tanah-tanah rakyat dijadikan perkebunan, tenaga kerja pribumi dieksploitasi, dan kekayaan alam hanya memperkaya elite kolonial. Dalam lanskap semacam ini, Tjokroaminoto menilai bahwa kapitalisme bukan hanya sistem ekonomi, tetapi alat struktural penjajahan.

Kapitalisme, menurut Tjokro, bertentangan secara fundamental dengan ajaran Islam yang menekankan keadilan, distribusi kekayaan, dan perlindungan terhadap kaum lemah (mustadh’afin).

Al-Qur’an sendiri menegaskan: “Dan orang-orang yang dalam hartanya terdapat bagian tertentu, bagi orang (miskin) yang meminta dan yang tidak meminta.” (QS. Al-Ma’arij: 24–25)

Mengapa Bukan Komunisme atau Kristenisasi?

Bagi Tjokro, komunisme bukanlah musuh utama, meskipun berbeda secara filosofis. Ia menyadari bahwa komunisme dan Islam sama-sama hadir untuk membela kaum tertindas. Namun, komunisme menolak Tuhan dan menghapus hak milik individu, dua hal yang tidak bisa diterima oleh Islam.

Alih-alih memusuhi kaum sosialis kiri secara membabi buta, Tjokro memilih jalan dialog dan sintesis: bahwa Islam memiliki sosialismenya sendiri, tanpa harus menjadi sosialis atau komunis.

Sementara itu, kristenisasi yang dilakukan melalui lembaga-lembaga pendidikan atau pelayanan sosial dinilai Tjokro sebagai strategi kultural, bukan ancaman struktural. Yang lebih berbahaya dan sistemik adalah kapitalisme yang menindas dan mengakar dalam hukum serta kebijakan kolonial.

Tjokroaminoto mengembangkan gagasan, Islam Sebagai Jalan Tengah dan Solusi, bahwa Islam adalah ideologi perlawanan dan keadilan sosial. Islam bukan hanya agama ritual, tapi juga sistem nilai yang membebaskan manusia dari penjajahan, kelaparan, ketakutan, dan kezaliman ekonomi.

 “Hai, untuk apa kamu mencari ideologi lain untuk membela kaum tertindas dan menciptakan keadilan sosial? Ajaran sosialisme Barat penuh kelemahan, sedangkan ajaran Islam sudah lengkap, sempurna, dan terbukti berhasil.” HOS Tjokroaminoto

Dengan cara itu, Tjokro menghindari jebakan ekstremisme ideologis. Ia tidak memaksakan “Islamisasi” negara secara simbolik, melainkan mendorong substansi Islam sebagai etika publik, sistem sosial, dan kekuatan transformasi umat.

Islam tidak anti kekayaan, tetapi anti kerakusan. Islam tidak anti kemajuan, tetapi anti ketimpangan

Sejalan dengan itu, Al-Qur’an menegaskan misi pembebasan yang sejati: 

“Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi, dan hendak menjadikan mereka pemimpin, serta menjadikan mereka pewaris (bumi).” (QS. Al-Qashash: 5)

Melanjutkan Warisan Tjokro

Hari ini, ketika wajah baru kapitalisme hadir dalam bentuk neoliberalisme, komersialisasi agama, dan ketimpangan digital, pemikiran Tjokroaminoto terasa semakin relevan. Islam tidak boleh hanya menjadi identitas simbolik, tetapi harus hadir sebagai kekuatan yang membela kaum kecil, memperjuangkan distribusi keadilan, dan melahirkan peradaban yang bertumpu pada nilai kemanusiaan dan ketuhanan.

Warisan Tjokro adalah pesan moral sekaligus strategi politik: bahwa umat Islam tidak butuh ideologi impor untuk memperjuangkan keadilan, karena ajaran Islam sendiri adalah jalan yang paling utuh, paling adil, dan paling membebaskan.

Cianjur 09072025

Tulisan ini dipersembahkan oleh Nunung Kaniawati, penulis buku Toedjoeh Kata Sebuah Ijtihad Konstitusi Siyasah Kebangsaan 1916-1959.

Share this post :

Posting Komentar

 
Support : Syarikat Islam Indonesia | Pemuda Muslimin Indonesia | KasmanPost
Copyright © 2025 - TJOKRO CORNER - All Rights Reserved
Template by Cara Gampang Published by Cargam Template
Proudly powered by Blogger