Ruang Narasi
SINDIKASI TJOKRO CORNER
Tjokroisme: Monoteisme Dialektika Historis
Jika kalian ingin menjadi pemimpin besar menulislah seperti wartawan dan bicaralah seperti orator - H.O.S. Tjokroaminoto

Manhajnya Sudah dengan Segala Perangkatnya, Tapi Kenapa Kita Tenggelam?


Kritik Keras untuk Pergerakan Kita Dari Sebuah Perlajalanan

Bukan karena kita tidak punya jalan, tapi karena kita enggan melangkah

TJOKROCORNER, ESAI - Kita, generasi yang lahir dalam tumpukan kitab, kurikulum, silabus kaderisasi, dan struktur organisasi yang tersusun rapi, sebenarnya adalah anak-anak dari warisan yang besar. Kita punya manhaj (metodologi perjuangan) yang tidak lahir kemarin sore. Ia ditempa dari sejarah panjang, dari gema khilafah Utsmaniyah yang runtuh, dari denting pedang perlawanan rakyat, dari pena para pembaharu yang menuliskan jalan perubahan.

Kita punya dokumen. Kita punya buku-buku kecil yang dibawa dari rumah-rumah kajian. Kita punya cerita tentang HOS Tjokroaminoto, tentang perjuangan Sarekat Islam, tentang tauhid sosial, tentang ekonomi syariah, tentang keadilan sebagai fondasi perjuangan. Kita tahu semuanya. Tapi semua itu, hari ini, nyaris jadi pusaka tanpa makna.

Banyak di antara kita yang sibuk menyebut manhaj, tanpa pernah menjalaninya. Kita lantang bicara perjuangan umat, tapi jarang menyapa masyarakat. Kita bicara struktur ideologis, tapi lebih sibuk mengurusi jabatan kosong. Kita bangga menyebut diri kader, tapi terlalu nyaman hidup seperti birokrat.

Ironis bukan? Kita tenggelam padahal kapal sudah lengkap.

Mari jujur: pergerakan kita bukan kekurangan perangkat. Kita punya semua: AD/ART, silabus kaderisasi, sistem rekrutmen, struktur wilayah dan cabang, bahkan logo dan mars. Kita punya jejak historis yang tidak dimiliki oleh banyak organisasi.

Tapi perangkat tanpa jiwa pergerakan hanya akan jadi ornamen upacara. Tanpa nyawa perjuangan, sistem hanyalah dokumen kering. Kita sudah terlalu lama berputar-putar dalam rapat tanpa keputusan strategis. Kita terlalu lama berbicara teknis, lupa substansi. Kita terlalu sibuk membicarakan format acara, tanpa memperhatikan dampaknya pada basis massa.

Kita sibuk membuat pelatihan, tapi lupa membina. Kita rajin menggelar diskusi, tapi malas turun ke masyarakat. Kita merasa sudah cukup menjadi organisatoris, padahal rakyat tidak peduli seberapa sering kita rapat. Yang mereka butuhkan adalah solusi, kehadiran, dan keberpihakan nyata.

Saat pergerakan lain mulai menciptakan ekosistem ekonomi umat, membangun media sendiri, dan berkolaborasi lintas isu, kita justru sibuk mengurus konsolidasi internal yang tak kunjung selesai. Kita takut pada perbedaan, curiga pada inisiatif, dan menganggap kreativitas sebagai ancaman terhadap kemapanan struktur.

Sementara generasi muda di luar sana membangun jaringan penggerak, kita sibuk menunggu SK dan komando pusat. Kita kehilangan daya hidup sebagai gerakan ideologis karena terlalu lama menjadi korporasi kaderisasi, bukan laboratorium perjuangan.

Yang lebih menyedihkan, ketika ada yang mencoba keluar dari zona nyaman, mereka sering dicurigai. Dituduh tidak patuh. Dicap tidak loyal. Inilah yang membuat banyak kader potensial memilih mundur perlahan. Bukan karena mereka anti-organisasi, tapi karena mereka tidak melihat organisasi sebagai tempat tumbuh.

Program Azas dan Azas Tandzhim. 

Keadilan ekonomi.

Perjuangan kelas tertindas.

Islam sebagai ideologi pembebasan.

Kita sering sekali mengucapkan itu semua. Tapi apakah masyarakat merasakannya melalui kita? Apa kita pernah membawa satu rumah tangga dhuafa keluar dari jerat riba? Apa kita pernah memfasilitasi petani agar tidak dipermainkan tengkulak? Apa kita pernah hadir di konflik agraria, di penggusuran, di pasar rakyat yang diancam hilang?

Kita terlalu pandai berkata-kata. Tapi gerakan ini tidak butuh banyak mulut. Ia butuh kaki yang melangkah, tangan yang bekerja, dan hati yang terhubung dengan derita rakyat. Kalau kita percaya pada manhaj kita, maka sudah saatnya ia dihidupkan, bukan dihafalkan.

Apa yang Salah? 

1. Kita mendewakan struktur, melupakan kultur.

Kita percaya bahwa semua harus sistematis, tapi lupa bahwa jiwa organisasi itu bukan birokrasi, melainkan gerakan budaya ideologis. Kita lupa membentuk kultur kader yang militan, jujur, tahan banting, dan cerdas membaca realitas.

2. Kita terlalu sering membandingkan, bukan membangun.

Kita sinis terhadap organisasi lain yang maju. Kita suka menuduh opportunis mereka yang aktif di luar, tanpa pernah bertanya: kenapa mereka meninggalkan kita?

3. Kita terlalu lama diam di dalam rapat.

Rapat itu perlu, tapi bukan tempat tinggal. Perjuangan tidak berlangsung di dalam forum, tapi di tengah pasar, kampus, lapangan, dan ruang-ruang sunyi tempat rakyat menjerit.

4. Kita takut berubah, padahal zaman tidak menunggu.

Kita bicara modernisasi dakwah tapi masih alergi pada media sosial. Kita bicara kemandirian ekonomi umat tapi menolak belajar dari koperasi sukses di luar. Kita bicara politik Islam tapi gamang masuk ke gelanggang pertarungan ide dan kuasa.

Jalan Keluarnya adalah Kembali ke Jalan Panjang yang Lurus

Kita tidak perlu ganti manhaj. Kita tidak butuh membuat ideologi baru. Apa yang kita miliki hari ini sudah cukup, bahkan lebih dari cukup.

Tapi kita butuh :

1. Merevolusi mental kader: dari pencari posisi menjadi pelayan perjuangan.

2. Membangun laboratorium sosial, bukan hanya forum diskusi.

3.Menjadi bagian dari solusi umat, bukan sekadar penonton penderitaan.

4. Memperkuat basis. 

5. Menjadikan kaderisasi sebagai cara hidup, bukan sekadar jenjang formal.

Kita perlu kembali ke akar, bahwa organisasi bukan tempat mencari nama, tapi ladang menanam amal. Bahwa menjadi ideologis bukan tentang gaya bicara, tapi tentang apa yang kau korbankan untuk perjuangan itu.

Kalau kita diam, maka kita sedang mengkhianati warisan besar itu. Kita akan tercatat bukan sebagai pelanjut, tapi sebagai generasi yang menenggelamkan kapal yang sudah lengkap.

Jangan tunggu sejarah lewat untuk menyesal bahwa kita terlalu lambat.

 Perjuangan ini tidak butuh banyak nama besar. Ia butuh banyak jiwa besar.

Entahlah... 

Wallahu'alam 

Tulisan ini dipersembahkan oleh Ardinal Bandaro Putiah, kader Syarikat Islam Indonesia Sumatera Barat.

Share this post :

Posting Komentar

 
Support : Syarikat Islam Indonesia | Pemuda Muslimin Indonesia | KasmanPost
Copyright © 2025 - TJOKRO CORNER - All Rights Reserved
Template by Cara Gampang Published by Cargam Template
Proudly powered by Blogger