Jelang pelaksanaan Majelis Syuro (Kongres Nasional) ke-XIV, Ardinal Bandaro Putiah (Ketua III Pimpinan Besar Pemuda Muslimin Indonesia) mengajak seluruh kader di seluruh Indonesia untuk berefleksi melalui serangkaian tulisan. Menapaki Ulang Kompas Ideologis adalah tulisan pertama.
Pendahuluan
Tangga waktu terus berderap, dan saat ini kita berada di persimpangan penting, terbukalah pintu menuju Majelis Syuro/ Kongres XIV Pemuda Muslimin Indonesia dimana momen strategis bagi organisasi yang berakar pada tradisi perjuangan Islam dan pergerakan pemuda. Organisasi ini tidak hanya menyelenggarakan rutinitas administratif, melainkan menghadapi tantangan zaman, bagaimana tetap relevan, bagaimana tegak pada ideologinya, dan bagaimana mengaktualisasikan visi misi dalam realitas sosial-politik Indonesia kini.
Dalam tulisan ini, kita hendak menelisik secara mendalam tentang siapa kita, ke mana kita bergerak, dan bagaimana kita memposisikan diri dalam pusaran sejarah, ideologi, dan tantangan kontemporer. Karena tanpa refleksi kritis atas akar, landasan, dan arah perjuangan, maka Majelis Syuro (selanjutnya kita tulis dengan kongres) ini bisa sekadar ritual organisatoris, bukan lompatan substantif. Oleh karena itu, tulisan ini bermula dari tinjauan akar sejarah-ideologis, kemudian menuju analisis kondisi kontemporer, tantangan strategis, kritikan diri, dan akhirnya rekomendasi arah ke depan.
Akar Ideologis dan Sejarah Organisasi
Untuk memahami kemana kita hendak bergerak, penting untuk mengetahui dari mana kita berasal. Pemuda Muslimin Indonesia ( disingkat Pemuda Muslim) berdiri pada 25 November 1928 di Yogyakarta. Organisasi ini muncul sebagai bagian dari pergerakan pemuda Islam yang menolak subordinasi pemuda Muslim dalam organisasi-pemuda yang kurang memosisikan agama sebagai arena perjuangan kritis.
Dalam mukaddimah atau pembukaan organisasi disebut bahwa “Sesungguhnya Islam itu adalah Dienullah. Ia adalah ketentuan hukum hidup dan kehidupan serta aturan hidup bersama yang dalam ketentuannya ia mendatangkan kebenaran dan keadilan, membebaskan ummat dari kedzaliman, memerdekakan ummat dari penjajahan, perbudakan dan perhambaan, membangun kehidupan baru dan membawa manusia ke tingkat derajat yang sempurna.”
Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa ideologi Pemuda Muslim adalah *Islam sebagai peradaban ( dīn ) lengkap, bukan semata ritual keagamaan*. Dengan demikian, pijakan ideologisnya bukan hanya moral-keagamaan semata, tetapi mempunyai dimensi sosial, politik, ekonomi, dan kebangsaan yaitu membebaskan manusia dari kedzaliman, penjajahan, perbudakan dan sebagainya.
Sejarahnya, Pemuda Muslim terhubung secara organik dengan gerakan pemuda Islam seperti Jong Islamieten Bond (JIB) dan juga gerakan pemuda dalam Syarikat Islam (SI). Sebagai organisasi pemuda tertua yang berakar di tradisi Islam kebangsaan, Pemuda Muslim memiliki modal historis yang kuat, bukan sebagai organisasi reaktif semata terhadap zamannya, tetapi sebagai bagian dari logika perjuangan panjang umat Islam dalam ruang bangsa Indonesia.
Dari sudut ideologi, Pemuda Muslim mendefinisikan dirinya sebagai “wadah bagi pemuda untuk belajar guna menjalankan Syarikat Islam yang seluas-luasnya demi kemaslahatan ummat”. Maka, kongres XIV ini bukan sekadar regenerasi kepengurusan, melainkan momentum untuk menegaskan kembali arah ideologis dan programatik.
Kondisi Kontemporer dan Tantangan Strategis
1. Zaman yang Berubah
Indonesia dan dunia pemuda Muslim mengalami transformasi cepat dimana globalisasi, digitalisasi, fragmentasi sosial, ekonomi yang tak menentu, politik identitas yang kuat, serta pandemi. Pemuda hari ini hidup dalam tekanan ekonomi, pengangguran, ketidakpastian karir, dan perubahan sosial yang signifikan termasuk dalam cara berpikir, berjejaring, berorganisasi. Hari ini menunjukkan bahwa media sosial dan teknologi menjadi bahagian penting dari medan perjuangan baru.
Bagi Pemuda Muslim, tantangan tersebut berarti bagaimana merespons kebutuhan pemuda yang “ziarah ruang digital”, yang mencari makna, jaringan, pengaruh, tetapi juga mengalami keletihan, keputusasaan, dan kerap kehilangan arah, sedangkan ideologi tradisional mungkin belum sepenuhnya menyentuh denyut generasi baru. Dengan kata lain dimana ideologi Pemuda Muslim harus relevan dan meresap ke dalam generasi yang berbeda realitasnya dibanding pendiri di 1928.
2. Tantangan Ideologis dan Politik
Secara nasional, riset menunjukkan bahwa banyak pemuda Muslim menyatakan bahwa Pancasila sudah final dan tidak bertentangan dengan agama. Namun, ini juga menjadi tantangan karena munculnya pertanyaan sejauh mana organisasi pemuda yang memiliki akar ideologi Islam kebangsaan seperti Pemuda Muslim mampu mengartikulasikan hubungan antara ideologi Islamnya dengan Pancasila, demokrasi, pluralitas dan kebangsaan secara kritis?
Ini pula menjadi panggilan bagi Pemuda Muslim jangan hanya menerima status quo demokrasi formal, tetapi harus mampu membedah bagaimana sistem kebangsaan dan ekonomi nasional (termasuk kapitalisme, globalisasi, penjajahan baru) masih mengandung elemen-ketidakadilan yang harus diperjuangkan dari perspektif Islam.
Dalam “Tentang Kami” organisasi Pemuda Muslim menyebut bahwa salah satu misinya adalah membebaskan rakyat Indonesia khususnya dan umat manusia pada umumnya dari kolonialisme, kapitalisme, imperialisme, dan komunisme/ateisme dalam segala wujud. Empat kata ini (kolonialisme, kapitalisme, imperialisme, komunisme/ateisme) menjadi kompas ideologis yang cukup tajam namun, bagaimana pelaksanaannya hari ini dengan konteks yang semakin kompleks?
3. Tantangan Kaderisasi dan Relevansi Internal
Organisasi pemuda Islam seringkali mengalami masalah kaderisasi, regenerasi, internalisasi ideologi, pembekalan praktis, serta hubungan antara masa pelatihan dan medan perjuangan nyata. Apakah pengkaderan selama ini telah cukup mampu menghasilkan aktivis yang dalam, bukan hanya jumlah, tetapi kapasitas, integritas, network, dan kemampuan adaptasi?
Kongres XIV harus menjawab bagaimana metode pengkaderan, bagaimana kesinambungan antara pelatihan dan aksi, bagaimana evaluasi dan pendampingan, bagaimana pemuda yang telah dilatih tetap aktif, tidak hanya di ranah organisasi tetapi di masyarakat dan bagaimana menjembatani antara idealisme ideologis dengan tantangan hidup sehari-hari antara pekerjaan, penghidupan, perjuangan sosial.
4. Tantangan Citra dan Gerakan Publik
Dalam era media sosial dan konsumsi cepat, organisasi pemuda Islam seringkali dihadapkan pada dua kutub yaitu satu sisi menjadi “aktif di medsos tetapi minim aksi nyata”, sisi lain menjadi “aksi nyata tetapi kurang populer dan terisolasi”. Untuk Pemuda Muslim tantangannya adalah menjaga agar perjuangan tetap nyata dan dipakai (relevant), bukan hanya sebagai branding. Keseimbangan antara “isu besar” (kemiskinan, keadilan, kebebasan) dan “isu konkret” (pengangguran, literasi digital, pengabdian masyarakat) menjadi sangat penting.
Kajian Ideologis
1. Ideologi sebagai Landasan, bukan Hiasan
Menjadi sebuah organisasi pemuda Islam kebangsaan, ideologi Pemuda Muslim adalah Islam sebagai dīn lengkap dan perjuangan terhadap kolonialisme , kapitalisme, imperialisme harus tampil sebagai landasan praktis. Tetapi seringkali di banyak organisasi ideologi hanya menjadi hiasan, sedangkan budaya organisasi cenderung pragmatis dimana acara-acara seremonial, pengajian rutin tetapi minim aksi strategis yang mengubah struktur. Pemuda Muslim harus menegaskan bahwa ideologinya mewajibkan tindakan struktural yaitu advokasi, penguatan ekonomi umat, edukasi politik pemuda, jaringan nasional-internasional.
2. Kritis terhadap Kapitalisme, tapi Juga Kewaspadaan terhadap Simplifikasi
Dalam “Tentang Kami” Pemuda Muslim menyebut kapitalisme sebagai salah satu musuh perjuangan. Hal ini penting karena menunjukkan kesadaran bahwa persoalan ekonomi umat tidak hanya soal distribusi, tetapi sistem akumulasi, eksploitasi, ketimpangan, globalisasi. Namun, kritik terhadap kapitalisme harus dilakukan secara cermat dan relevan bukan sekadar menolak kapitalisme dengan romantik, tetapi menganalisa bagaimana sistem ekonomi Indonesia termasuk kebijakan neoliberal, kemitraan asing, utang luar negeri, oligarki yang mempengaruhi realitas pemuda, dan bagaimana pemuda bisa berperan membangun ekonomi alternatif (koperasi, ekonomi syariah, sosial-entrepreneurship) dalam kerangka ideologis.
Selain itu, kritik terhadap kapitalisme tidak boleh mengabaikan tantangan internal umat sendiri yakni mental “konsumerisme”, individualisme, budaya “kerja cepet kaya”, dan ketidakpedulian terhadap kolektif. Ideologi Pemuda Muslim harus menegaskan nilai-nilai kolektif, pelayanan, solidaritas, keadilan, dan semangat “ummah” yang kuat.
3. Kebangsaan, Pancasila, dan Pluralitas: Tidak Boleh Sama dengan Status Quo
Sebagai organisasi yang berakar pada Islam dan kebangsaan, Pemuda Muslim harus menegaskan bahwa kebangsaan bukan berarti mematikan kritik terhadap struktur negara sosial-ekonomi yang timpang dan Pancasila bukan sekadar simbolitas tanpa implementasi. Studi menyebut bahwa Pemuda Muslim umumnya menerima Pancasila sebagai final. Namun, penerimaan itu bisa menyempit menjadi sikap pasif terhadap tantangan sistemik misalnya kemiskinan struktural, korupsi, oligarki, marginalisasi kelompok tertentu, yang sesungguhnya bertentangan dengan keadilan sosial yang dijanjikan. Maka, Pemuda Muslim harus menginternalisasi bahwa kebangsaan yang sejati berarti memperjuangkan “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” — sila ke-5 Pancasila — dan bahwa Islam sebagai dīn menempatkan keadilan sosial sebagai prinsip utama.
Operasionalnya adalah Pemuda Muslim bisa mengambil posisi pro-aktif dalam memastikan bahwa Pemuda Muslim memiliki ruang aktif dalam demokrasi, ekonomi, dan masyarakat bukan menunggu panggung dari orang lain. Kebangsaan dan Islam tidak harus antagonis, tetapi komplementer selama organisasi ini mengartikulasikan link antara iman (taqwa) dan amal (amal shalih) dengan perubahan sosial.
4. Kepemimpinan, Kaderisasi, dan Etika Pelayanan
Ideologi yang kuat menuntut kader yang berintegritas. Untuk Pemuda Muslim tidak cukup memiliki jargon perlawanan terhadap kolonialisme, kapitalisme, imperialisme tetapi kader-yang kelak menjadi pemimpin harus menampilkan etika pelayanan, amanah, pengabdian bukan pragmatisme kekuasaan. Organisasi pemuda sering kali gagal karena konflik internal, politisasi berlebihan, kurangnya pembagian wewenang, nepotisme atau habit birokrasi yang stagnan.
Dalam konteks ini, Pemuda Muslim perlu mengevaluasi bagaimana struktur organisasi, tugas-fungsi, wewenang, dan mekanisme produksi keputusan apakah tetap demokratis, transparan, responsif terhadap pemuda? Apakah pelatihan kader memadai dalam aspek moral, metodologi organisasional, kemampuan analisis, komunikasi massa, advokasi, dan pengabdian?
Pengalaman Kader sebagai aktivis sosial dan politik, dan keinginan Kader untuk membentuk tim media sendiri menunjukkan bahwa kebutuhan kapasitas internal organisasi sangat tinggi, media, komunikasi, tim, pendanaan jangka panjang semua ini bagian dari tantangan modern. Pemuda Muslim harus memikirkan bagaimana membangun sistem kader yang bisa menjawab tantangan zaman ini dimana media digital, literasi data, advokasi kebijakan, pengembangan ekonomi umat, sinergi antar generasi.
5. Aksi terhadap Umat dan Perubahan Sistemik
Organisasi yang berideologi harus menghasilkan aksi-yang memiliki dampak. Pemuda Muslim menyebut misinya membebaskan rakyat Indonesia khususnya dan umat manusia pada umumnya dari kolonialisme, kapitalisme, imperialisme, komunisme/ateisme. Tapi bagaimana aksi konkret hari ini? Beberapa percontohan bisa adalah, program pemberdayaan pemuda di kawasan tertinggal, advokasi kebijakan pro-pemuda dan pro-umat, pembangunan ekonomi berbasis syariah dan koperasi, penguatan literasi politik dan demokrasi, gerakan sosial melawan kemiskinan dan marginalisasi. Aksi ini harus sistematis, bukan episodik.
Kongres XIV harus menjadi titik evaluasi sejauh mana program-periode sebelumnya berhasil? Apakah indikator keberhasilan ditetapkan? Apakah pelaksanaan, evaluasi dan tindak lanjut done? Kalaupun belum, maka harus ada mekanisme new-start yang bersifat transformasional.
Bersambung...






Posting Komentar