Ruang Narasi
SINDIKASI TJOKRO CORNER
Tjokroisme: Monoteisme Dialektika Historis
Jika kalian ingin menjadi pemimpin besar menulislah seperti wartawan dan bicaralah seperti orator - H.O.S. Tjokroaminoto

Kebangkitan Nasional 20 Mei; Politik Historiogradi Islamophobia


HOS Tjokroaminoto tentang “Islam dan Nationalisme”

........pertama-tama adalah kita Moeslimin dan di dalam ke-Moesliman itoe adalah kita Nationalist dan Patriot jang menoedjoe kemerdikaan negeri toempah darah kita tidak tjoemah dengan perkataan2 jang heibat dalam vergadering sadja........ (Fadjar Asia, 24 Mei 1929)

TJOKROCORNER, ESAI - Dalam konteks historiografi Nasional Indonesia, embrional gerakan-gerakan anti-kolonialisme dan anti-imperialisme awal abad ke-20 selalu dimulai dengan berdirinya Boedi Oetome (1908), sebuah perhimpunan elitis para bupati Jawa yang pro-kolonialisme.  

Padahal, bukan hanya pro-Kolonialisme Belanda, Boedi Oeteomo (BO) juga anti-Islam. Hal ini terbaca dari pernyataan tokoh-tokohnya dalam berbagai pidato dan pernyataan di surat kabar dizamannya. A Hassan, menuliskan di majalah Persis “Al Lisan”, seraya mengutip sebuah artikel di “Suara Umum”, sebuah media massa milik BO. Menurut A Hassan, di majalah BO itu terdapat tulisan yang antara lain berbunyi, "Digul lebih utama daripada Makkah", "Buanglah Kabah dan jadikanlah Demak itu Kamu Punya Kiblat!" (dari Al-Lisan nomor 24, 1938).

Dengan demikian, peringatan Hari Kebanglitaan Nasional 20 Mei bagi umat Islam bangsa Indonesia adalah suatu politik historiografi Islamphobia yang masih terus berlangsung diperingati oleh umat Islam Indonesia sendiri.  

Pelopor Anti Kolonialisme: Sarekat Dagang Islam (1905)

Sejatinya, gerakan anti-Kolonialisme/anti imperialisme (anti penjajahan) berkembang dalam ruang masyarakat sipil atau pribumi, yang dipelopori kaum kiyai-haji-pedagang muslim di Lawenan, Solo (Sarekat Dagang Islam, 16-10- 1905, KH Samanhudi, dkk) dan Indisje Partij (1912, Bandung) dengan trio Douwes Dekker, Cipto Mangunkusumo, dan Ki Hajar Dewantara. 

Belakang, SDI berubah secara legal standing menjadi Sarekat Islam (SI) di bawah duet H.O.S. Tjokroaminoto - Abdoel Moeis) yang berjaya hingga tahun 1934-1936 (wafatnya HOS Tjokroaminoto dan Sikap Hidjrah).

Selama ini Bandung dikenal melalui Dasasila Bandung, yang menjadi tempat perhelatan Konferensi Asia Afrika (1955) menjadi tonggak peran politik internasional Indonesia dalam pergaulan internasional. Dan lebih dilihat sebagai simbol keberhasilan kabinet Ali Sastroamijoyo semata, justru mereduksi dan menghilangkan substansi spirit-nya dan hanya memunculkan citra positif bahwa KAA adalah murni Inisiatif Indonesia —terpisah dari konteks serta gagasan yang melatarinya.

Penggambaran demikian akhirnya semakin mereduksi KAA menjadi sekadar monumen kebanggaan nasional yang sempit. Padahal, dalam perspektif ‘out in box’ dari politik historiografi, bahwa KAA diadakan di tengah gelombang dekolonisasi sekaligus Perang Dingin, dan pemikiran yang melandasinya bisa dilacak jauh ke belakang, ke aktivitas gerakan-gerakan antikolonialisme dan anti-imperialisme Asia dan Afrika awal abad ke-20. 

Pelopor Kesadaran Berpemerintahan Sendiri: Sarekat Islam (1916)

Lebih kebelakang, yaitu pada tanggal 17 – 24 Juni 1916 di Alun-alun Kota Bandung dan bangsal Gedung Concordia, Dai Toa Kaman dengan fungsinya sebagai pusat kebudayaan (194201945), Gedung Konstituante, (1955-1959, Gedung Merdeka,1980) pernah terjadi peristiwa fenomenal sebuah perhelatan sosial politik yang disebut National Congres I (NATICO I), dengan Central Sarekat Islam (CSI) sebagai inisiator dan penyelenggaranya.  

Berdatangannya para utusan CSI dari Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Sulawesi memenuhi Kota Bandung, lebih dari 300 ribu; hadir elit pimpinan CSI , Paguyuban Pasundan, dan yang lainnya di bawah pengawasan pemerintahan Gubernur Jenderal Hindia Belanda. 

Sebuah fenomena bersejarah melalui Pidato Zelfbestuur – Kehendak Berpemerintahan Sendiri” yang disampaikan oleh Oemar Said Tjokroaminoto dalam Bahasa Melayu terekam baik oleh pemerintahan Kolonial Hindia Belanda. Bagaimana isi pidatonya itu sudah memberikan sinyal tentang kemungkinan REVOLUSI terjadi di masa depan.  

Peritiwa fenomenal sepenting ini justru menjadi aneh, ketika kita tidak temukan dalam buku resmi pemerintahan RI yang berjudul HOS Tjokroaminoto: Penyemai Pergerakan Kebangsaan & Kemerdekaan, karya Tim Museum Kebangkitan Nasional, Djoko Marihandono, Harto Juwono, Yudha B. Tangkilisan (Museum Kebangkitan Nasional Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2015). 

Sejarah mengukir tinta hitam, bahwa Gedung Merdeka dulu terlarang bagi anjing & pribumi. Yang dahulunya pertama kali dibangun pada tahun 1895 dinamakan Sociëteit Concordia. Bagi warga pribumi untuk masuk ke dalam area gedung ini dipasang Plang yang berbunyi ‘Verbodden voor Honden en Inlander’ (dilarang masuk bagi anjing dan pribumi).  

Namun kekecualian itu hanya terjadi pada 17-24 Juni 1916 ketika berlangsungnya NATICO I (National Congres) Central Sarekat Islam, digunakan sebagai lokasi persidangan sekalipun hanya di bangsalnya.

Kampus Unpad Jatinangor, 20/5/2025

Tulisan ini disajikan oleh Nunu A Hamijaya, Sejarawan Publik UIBI.

Share this post :

Posting Komentar

 
Support : Syarikat Islam Indonesia | Pemuda Muslimin Indonesia | KasmanPost
Copyright © 2025 - TJOKRO CORNER - All Rights Reserved
Template by Cara Gampang Published by Cargam Template
Proudly powered by Blogger